PAPAN INFORMASI

PAPAN INFORMASI

Kamis, 14 Juni 2012

Hut Kota Jakarta Tgl 22 Juni 1527



Ya, mengapa tanggal 22 Juni?
Jawabannya perlu dicari dalam dua hal, yaitu: penggagas ide dan penetapan tanggal 22 Juni itu. Penggagas ide adalah Sudiro yang sejak 8 Desember 1953 menjadi Walikota Jakarta Raya. Kemudian pada tahun 1958 jabatan Sudiro adalah Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kotapraja Jakarta raya. Sudiro memegang jabatan ini sampai tahun 1960.

Sebagai petinggi yang mengurus ibukota negara Republik Indonesia Sudiro berkeinginan agar warga Jakarta dapat merayakan ulang tahun kota-nya dengan meriah setiap tahun. Paling tidak ada perayaan yang dinikmati bersama oleh semua orang yang menjadi penduduk Jakarta. Pada awal tahun 1954 ia menghubungi beberapa orang ahli sejarah, di antaranya: Mr. Muh. Yamin, Sudarjo Tjokrosisworo (wartawan senior) dan Mr. Dr. Sukanto. Kepada mereka diminta kesediaan untuk meneliti kapan kota Jakarta didirikan. Permintaan ini jelas mengacu kepada kota Jakarta dan bukan Batavia yang didirikan oleh Jan Pieterszoon Coen.

Dari ke tiga orang yang diminta, hanya Mr. Dr. Sukanto yang menyambut baik dan menuliskan hasil penelitiannya berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta. Buku ini terbit pada akhir tahun 1954 sebagaimana dicantumkan dalam kata pendahuluan, sedangkan kata pengantar ditulis oleh Walikota Sudiro.

Sukanto yang waktu itu adalah juga Kepala Arsip Negara (sekarang Arsip Nasional RI) mengambil ancang-ancang tanggal pendirian Djajakarta oleh Falatehan dalam menentukan hari ulang tahun kota Jakarta. Ia berkesimpulan hari itu adalah tanggal 22 Juni 1527. Maka dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Februari 1956 no. 6/D.K. Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja menetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir kota Djakarta.

Bagaimana Mr. Dr. Sukanto "menemukan" tanggal 22 Juni itu?

Buku yang diterbitkan pada akhir tahun 1954 itu terdiri dari 3 bagian: Djakarta--Batavia--Djajakarta. Bagian tentang Djakarta diuraikan pada halaman 9 sampai dengan halaman 12. Mulai halaman 13 sampai dengan halaman 50 adalah uraian panjang lebar tentang Batavia yang banyak mengambil bahan acuan dari karya F. de Haan, Oud Batavia, yang ditulis tahun 1919 terbit tahun 1922 dan diterbitkan ulang pada tahun 1935.

Bagian tentang Djajakarta terdapat pada halaman 51 sampai dengan halaman 68 yang merupakan bagian akhir. Pada bagian ini Mr. Sukanto menjelaskan bagaimana ia menarik kesimpulan tentang hari lahir kota Jakarta (lihat: halaman 58 sampai dengan halaman 60). Titik tolaknya adalah pendapat F. de Haan yang mengatakan bahwa kira-kira 5 (lima) tahun sesudah diadakan perjanjian antara Portugis dengan penguasa pelabuhan Sunda Kalapa tanggal 21 Agustus 1522, Sunda Kalapa lalu jatuh ketangan

--------------------
Dalam buku otobiografi Sudiro yang ditulis oleh Soebagijo IN, Sudiro; pejuang tanpa henti (1981. Jakarta: Gunung Agung) hal. disebut tahun 1954. Padahal penetapan 22 Juni sebagai hari ulang tahun Jakarta dikeluarkan Februari 1956.

penguasa Banten. Nama Sunda Kalapa lalu berganti menjadi Djajakerta. Oleh Portugis sendiri, disamping perjanjian yang naskah aslinya disimpan di Arsip Nasional Portugal di Lissabon, mereka juga mendirikan batu peringatan atau padrao. Sukanto memperkirakan penggantian nama Sunda Kalapa menjadi Djajakarta terjadi sesudah atau sebelum tanggal 21 Agustus 1527.

Untuk menemukan tanggal yang pasti dan akurat, Sukanto menghitungnya dari penanggalan Islam atau dari kalender Hindu-Jawa. Menurut Sukanto, sebagai orang Muslim Falatehan tidak akan mengikuti kalender Hindu-Jawa. Tetapi penanggalan Islam pada masa itu belum lah sepenuhnya diikuti oleh penduduk di Jawa, dan baru di masa pemerintahan Sultan Agung penanggalan Jawa-Islam digunakan, yaitu sejak 1633. Mengingat bahwa isteri Falatehan adalah puteri dari Kerajaan Demak yaitu adik dari Sultan Trenggono, maka dapat dipastikan Falatehan menghormat adat Jawa. Atas pertimbangan ini lalu Sukanto menggunakan penanggalan Jawa dalam menetapkan hari penggantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Ia menggunakan perhitungan penanggalan Jawa yang berkaitan dengan pertanian yang disebut pranatamangsa. Dalam satu tahun pranatamangsa terbagi atas 12 mangsa.

Sukanto memperkirakan nama Djajakarta diberikan beberapa bulan setelah bulan Maret 1527. Mengingat mangsa ke satu jatuh dalam bulan Juni yaitu bulan masa panen, maka Sukanto berpendapat besar kemungkinannya nama Jayakarta diberikan pada tanggal ke satu mangsa ke satu, yaitu pada bulan Juni, tanggal 22, tahun 1527. Tetapi seperti dikatakannya sendiri: "Harinja jang pasti kita tidak dapat menemukannja".

Dengan kata lain, Mr. Sukanto mengakui bahwa ia tidak dapat memastikan dengan tepat dan akurat tanggal 22 Juni itu, seperti yang ditulisnya pada bagian Pendahuluan bukunya. "Harinja itu kita hanja dapat mengira-ngirakan sahadja".


Maka ketika publikasi buku Dari Djakarta ke Djajakarta itu beredar banyak tanggapan bahkan adapula yang menyanggah. Banyak yang tidak setuju dengan tanggal 22 Juni 1527 itu, tetapi tidak ada yang mampu memberi dasar yang kuat untuk alasan sanggahan mereka; apalagi yang bersangkutan tidak mengemukakan alternatif tanggal lain.

Dalam tulisannya yang diterbitkan pada bulan Oktober 1956 Prof. Dr. Husein Djajadiningrat meragukan kalau tanggal satu mangsa ke satu pada tahun 1527 itu jatuh pada tanggal 22 Juni Masehi. Alasannya adalah bahwa pranatamangsa untuk keperluan pertanian mengikuti bintang Weluku dan bintang Wuluh. Menurut Djajadiningrat yang membandingkannya dengan catatan tahun 1880, tanggal satu mangsa kasa (ke satu) itu jatuh pada tanggal 17 Juli (menurut hitungan bintang Weluku) dan tanggal 9 Juli (menurut hitungan bintang Wuluh). Sementara itu di desa-desa sekitar Kudus, menurut sang bupati R.M.A.A. Tjondronegoro, penduduk menghitung mangsa kasa mulai kira-kira tanggal 21 Juni. Ada pergeseran 2-3 hari dalam menghitung tanggal satu mangsa

---------------------------------
F. de Haan, Oud Batavia; gedenkboek uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, naar aanleiding van het driehonderdjarig bestaan der stad in 1919 ( Batavia: G. Kolff & Co), jilid I, hal. 1-2; lihat juga Sukanto, Dari Djakarta ke Djajakarta (1954. Djakarta), hal. 58 Lebih lanjut tentang padrao ini, lihat A. Heuken SJ, Sumber-sumber asli sejarah Jakarta (1999, Jakarta: Cipta Loka Caraka), jilid I, hal. 47-61. Sukanto, Dari Djakarta ke Djajakarta, op.cit., hal. 60. Dikutip oleh Prof. Dr. P.A. Husein Djajadiningrat, "Hari Lahirnja Djajakarta", Bahasa dan Budaja, Tahun V, no. 1, Oktober 1956, hal. 3

kasa ini, yaitu pada tahun 1855 sampai dengan 1858 jatuh pada tanggal 22 Juni, tahun 1859 sampai dengan 1861 jatuh pada 21 Juni, tahun 1947 jatuh pada tanggal 23 Juni.

Perhitungan yang lain yang menurut Dr. J.A. Brandes, seorang ahli kebudayaan Jawa, masa panen adalah pada mangsa yang ke sepuluh (kasadasa) yang jatuh pada 12 April sampai dengan 11 Mei. Bupati Tjondronegoro menyebutkan bahwa masa panen juga jatuh pada mangsa ke sebelas (destha) kira-kira tanggal 18 April sampai dengan 10 Mei.

Atas dasar perhitungan ini, Djajadiningrat berpendapat bahwa hitungan masa panen oleh Sukanto dengan menggunakan mangsa ke satu tidak tepat atau keliru.

Djajadiningrat mencoba mencari tanggal kemenangan Falatehan itu dengan perhitungan tahun Islam, terutama dengan kaitan perayaan hari-hari besar Islam, seperti: Maulid Nabi Muhammmad saw, Idulfitri, Idulqurban. Bahwa kemenangan Falatehan mengusir Portugis dari Sunda Kalapa juga berarti kemenangan Islam terhadap Portugis yang Katolik. Djajadiningrat menggunakan kaitan perayaan kemenangan Falatehan dengan perayaan hari besar Islam.

Dari data yang diperolehnya, hari raya Islam yang paling dekat antara Desember 1526 dengan Januari 1527 adalah 12 Rabiulawal 933 H. Hari raya Maulid Nabi Muhammad saw itu jatuh pada penanggalan Masehi: 17 Desember 1526.

Patut pula diperhatikan bahwa bulan Rabiulawal 933 H itu berlangsung sampai tanggal 4 Januari 1527. Sehingga ada kemungkinan penggantian nama Sunda Kalapa ke Jayakarta oleh Falatehan terjadi antara tanggal 17 Desember 1526 -- 4 Januari 1527.

Dalam artikel yang dimuat di majalah Bahasa dan Budaya itu (Oktober 1956) tertulis: 17 Deseember 1526 - 4 Desember 1527 yang sebetulnya salah cetak. Namun hal ini juga yang digunakan oleh Sukanto untuk balik menolak teori Djajadiningrat. Uraian lebih lanjut ada pada bagian lain tulisan ini.

Dengan teori perhitungan kalender yang sudah dikemukakannya, Djajadiningrat menolak teori perhitungan penanggalan Hindu-Jawa yang diajukan oleh Sukanto. Djajadiningrat bahkan menyangka tanggal 22 Juni itu dipilih karena ada keterkaitan dengan hari Pancasila.

Bulan Februari 1957 muncul tulisan Sukanto di majalah yang sama berisikan bantahan atas kritik Husein Djajadiningrat. Sukanto tetap bertahan dengan penetapan tanggal 22 Juni 1527 itu, dan mengatakan sanggahan Djajadiningrat itu sebagai teori belaka, sama halnya dengan apa yang Sukanto kemukakan yang juga suatu teori. Lebih lanjut Sukanto menunjukkan bahwa teori Djajadiningrat dan teorinya pada prinsipnya tidak berbeda. Jika Sukanto menitik-beratkan teorinya pada adat-istiadat Jawa, Djajadiningrat menggunakan aspek Islam dalam teorinya. Sukanto juga mempertanyakan perhitungan hari raya Maulid Nabi Muhammad saw yang menurut pendapatnya jika

perayaan itu dikaitkan dengan hari lahirnya Jayakarta "djatuh antara tg. 17 Desember 1526 dan tg. 5 Desember 1527, djarak waktu itu ialah terlampau luas".

Hal ini segera dibantah oleh Djajadiningrat, bahwa ada salah cetak pada tanggal yang disebut dalam teorinya, yang seharusnya adalah "antara tanggal 17 Desember 1526 -- 4 Januari 1527". Sedangkan "sindiran" bahwa 22 Juni ditetapkan karena ada kaitannya dengan hari lahir Pancasila, Sukanto hanya menjawab bahwa ia tidak tahu. Kaitan tanggal tersebut baru diketahuinya dari pidato Walikota Jakarta Raya pada saát perayaan Hari Ulang Tahun Jakarta ke-429 yang untuk pertama kalinya diselenggarakan pada tanggal 22 Juni 1956.

Sesudah lebih dari empat dasawarsa berlalu polemik soal tanggal 22 Juni itu rupanya dilupakan orang. Belum lama berselang, walau tidak di-expose secara khusus, A. Heuken SJ menekankan keraguannya terhadap penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari lahir Jayakarta. Di dalam kompilasi sumber-sumber sejarah Jakarta abad ke -5 ( yang tertua) sampai dengan tahun 1630 yang disusun oleh A. Heuken, ditunjukkan bahwa penggantian nama dari Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang dilakukan oleh Fatahillah yang dijadikan patokan oleh Sukanto untuk menetapkan hari ulang tahun Jakarta, tidak terbukti oleh data sejarah manapun.

Di lain pihak, Heuken mengakui bahwa tradisi merayakan hari ulang thaun Jakarta pada tanggal 22 Juni juga tidak seluruhnya salah ataupun sepenuhnya benar. Ini dikarenakan oleh kelangkaan sumber-sumber lokal yang sejaman, kalaupun ada sumber-sumber lokal tersebut tidak dapat diandalkan mengingat catatan sejaman dengan peristiwa tahun 1527 nyaris tidak ada. Naskah Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari yang memuat uraian panjang tentang Sunda Kalapa--Banten--Cirebon ditulis pada tahun 1720. Belum lagi orisinalitasnya pun masih dipertanyakan. Sementara itu sampai tahun 1650-an nama Kalapa di pulau Sunda masih disebut-sebut dalam sumber-sumber Portugis, begitu juga dengan sumber-sumber Cina awal abad ke-17 yang masih menyebut nama Sunda.

Perhitungan kalender yang digunakan oleh Sukanto dan Husein Djajadiningrat, yang diakui oleh ke duanya, masih bersifat perkiraan teoritis. Jadi, penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari ulang tahun Jakarta adalah sebuah ketetapan politik yang diambil dalam sidang Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja atau DPRD Jakarta waktu itu. Seperti yang diakui oleh Sudiro sendiri, bahwa dasar hukum penetapan tanggal tersebut diperlukan untuk menghindari berbagai polemik yang akan timbul. Maka sejak tahun 1956 sampai sekarang warga Jakarta merayakan ulang tahun kotanya setiap tahun, bahkan perayaan itu menjadi lebih meriah dibandingkan dengan perayaan di masa Sukarno berkuasa.
-----------------------------------------
Ibid., hal. 7-8 Husein
Djajadiningrat, op.cit., hal. 8 "Hari Lahirnja Djajakarta", Bahasa dan
Budaja, op.cit., hal. 11 Ibid.; tanggal 22 Juni merupakan usulan format
Pancasila yang pada sila Ketuhananan yang Maha Esa ditambah dengan 7
kata: "kewajiban menjalankan sya'riat Islam bagi para pemeluknya", yang
lebih diikenal sebagai Piagam Jakarta Prof. Dr. Mr. Sukanto, "Tentang
karangan Prof. Dr. P. A. Hoesein Djajadiningrat: Hari Lahirnja
Djajakarta", Bahasa dan Budaja, Tahun V, no. 3, Februari 1957, hal. 3

---------------------------------
Ibid., hal. 9 "Tjatatan oleh Prof. Dr. P.A.. Hoesein Djajadiningrat", Bahasa dan Budaja, Februari 1957, op.cit., hal. 11 "Tentang karangan prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat……", op.cit., hal. 8 A.Heuken SJ, Sumber-sumber asli sejarah Jakarta (2001.Jakarta: Cipta Loka Caraka), jilid III, hal. 98 A. Heuken SJ, Sumber-sumber asli sejarah Jakarta ( 1999. Jakarta: Cipta Loka Caraka) jilid I, hal. 62 Ibid., jilid I, hal.107-108 Soebagijo IN, Sudiro, pejuang tanpa henti, op.cit., hal. 283.(Dikutip dari kampungbetawi.com, Penulis Monalohanda Arsip Nasional RI)


SELAMAT DATANG DI KELURAHAN KUNINGAN TIMUR | DAPATKAN INFORMASI SEPUTAR WILAYAH KUNINGAN TIMUR KECAMATAN SETIABUDI | | KLIK PADA LAYANAN PRIMA , ANDA LANGSUNG TERSAMBUNG OLEH OPERATOR Via CHATTING :: kel_kuningantimur@yahoo.com :: dan ::: kelkuntim@gmail.com ::. Atau Via TELP. (021) 5 2 5 3 8 6 8 | TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA